Jumat, 28 Desember 2018

MAKALAH FIQH MUAMALAH IJARAH


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
            Muamalah merupakan bagian dari rukun islam yang mengatur hubungan antara seseorang dan orang lain. Contoh hukum islam yang termasuk muamalah salah satunya adalah ijarah (sewa-menyewa dan upah). Seiring dengan perkembangan zaman, transaksi muamalah tidak terdapat miniatur dari ulama klasik, transaksi tersebut merupakan terobosan baru dalam dunia modern. Kalau sekiranya kitab-kitab fiqh sering menerjemahkan kata Ijarah dengan “sewa-menyewa”, maka hal tersebut janganlah diartikan menyewa sesuatu barang untuk diambil manfaatnya saja, tetapi harus dipahami dalam arti yang luas.
            Manusia merupakan makhluk sosial yang tak dapat hidup tanpa bantuan orang lain. Dalam hidupnya, manusia bersosialisi dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, yang termasuk di dalamnya merupakan kegiatan ekonomi. Segala bentuk interaksi social guna memenuhi kebutuhan hidup manusia memerlukan ketentuan-ketentuan yang membatasi dan mengatur kegiatan tersebut.
            Selain dipandang dari sudut ekonomi, sebagai umat muslim, kita juga perlu memandang kegiatan ekonomi dari sudut pandang islam. Ketentuan-ketentuan yang harus ada dalam kegiatan ekonomi sebaiknya juga harus didasarkan pada ssumber-sumber hokum islam, yaitu Al’Qur’an dan Al-Hadits.
            Dan di sini kami membahas lebih lengkap dan jelas mengenai salah satu dari bentuk interaksi sosial manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya (kegiatan ekonomi), yaitu Ijarah

B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian Ijarah?
2.      Apakah dasar hukum dari Ijarah?
3.      Bagaimana syarat-syarat dan rukun Ijarah?
4.      Bagaimana hukum menyewakan barang sewaan?
5.      Bagaimana pembatalan dan berakhirnya Ijarah?
6.      Bagaimana pengembalian barang sewaan?

C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui arti dari Ijarah..
2.      Untuk mengetahui dasar hukum dari Ijarah.
3.      Untuk mengetahui syarat-syarat dan rukun Ijarah.
4.      Untuk mengetahui hukum menyewakan barang sewaan.
5.      Untuk mengetahui pembatalan dan berakhirnya Ijarah.
6.      Untuk mengetahui pengembalian barang sewaan.

BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian Ijarah
            Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at). Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sewa-menyewa atau dalam bahasa arab ijarah berasal dari kata اجر yang sinonimnya:
1.      اكوىyang artinya menyewakan, seperti dalam kalimat اجرالشئ (menyewakan sesuatu).
2.      اعطا ه اجرا yang artinya ia member upah, seperti dalam kalimat اجرفلاناعلى كذا(ia memerikan kepada si fulan upah sekian).
3.      اثابهyang artinya memberinya pahala, seperti dalam kalimatاجرالله عبده(Allah memberikan pahala kepada hamba-Nya).[1]
            Sedangkan menurut istilah, para ulama berbeda-beda mendefinisikan ijarah, antara lain adalah sebagai berikut:
a.       Ulama Hanafiyah
عَقْدٌ عَلَى المُنَافِعِ بِعَوْضٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan dengan pengganti.”
b.      Ulama Asyafi’iyah
عَقْدٌ عَلَى مَنْفَعَةٍ مَقْصُودةٍ مَعْلُومَةٍ مُبَاحَةٍ قَابِلَةٍ لِلبَدْلِ وَالإِبَاحَةِ  بِعَوْضٍ مَعْلُوْمٍ
Artinya: “Akad atas suatu kemanfaatan yang mengandung maksud tertentu dan mubah, serta menerima pengganti atau kebolehan dengan pengganti tertentu.”
c.       Ulama Malikiyah dan Hanabilah
تَمْلِيْكُ مَنَافِعِ شَيءٍ مُبَاحَةٍ مُدَّةً مَعْلُوْمَةً بِعَوْضٍ
Artinya: “Menjadikan milik suatu kemanfaatan yang mubah dalam waktu tertentu dengan pengganti.”[2]
                        Ada beberapa istilah dan sebutan yang berkaitan dengan ijarah, yaitu mu’jir, musta’jir, ma’jur dan ajru atau ijarah.ma’jir ialah pemilik benda yang menerima uang (sewa) atas suatu manfaat. Musta’jir ialah orang yang memberikan uang atau pihak yang menyewa. Ma’jur ialah pekerjaan yang diakadkan manfaatnya. Sedangkan ajr atau ujrah ialah uang (sewa) yang diterima sebagai imbalan atas manfaat yang diberikan.[3]
                        Jumhur ulama fiqh berpendapat bahwa ijarah adalah menjual manfaat dan yang boleh disewakan adalah manfaatnya bukan bendanya. Oleh karena itu, mereka melarang menyewakan pohon untuk diambil buahnya, domba untuk diambil susunya, sumur untuk diambil airnya, dan lain-lain, seb cab semua itu bukan manfaatnya, tetapi bendanya. Namun sebagian ulama memperbolehkan mengambil upah mengajar Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bersangkutan dengan agama, sekedar untuk memenuhi keperluan hidup, karena mengajar itu telah memakai waktu yang seharusnya dapat mereka gunakan untuk pekerjaan mereka yang lain.[4]
B.     Dasar Hukum Ijarah
            Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’
Dasar hukum ijarah dalam alqur’an adalah
                                                فان ا رضعن لكم فا تو هن اجورهن (الطلاق)
Artinya: “Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berikanlah upah mereka” (Al-Thalaq: 6).
Dasar hukum ijarah dari al-hadits adalah
                                                            اعطو االاجيرا جره قبل ا ن يجف عر قه
“Berikanlah olehmu upah orang sewaan sebelum keringatnya kering.” (Riwayat Ibnu Majah)
            Landasan Ijma’nya ialah semua umat sepakat, tidak ada seorang ulama pun yang membantah kesepakatan (ijma’) ini, sekalipun ada beberapa orang diantara mereka yang berbeda pendapat, tetapi hal itu tidak dianggap.[5]

C.     Syarat-Syarat dan Hukum Ijarah
            Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama iajarah ada empat yaitu:
1.      Dua orang yang berakad
2.      Sighat (ijab dan qabul)
3.      Sewa atau imbalan
4.      Manfaat
            Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
1.      Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
2.      Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
3.      Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
4.      Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
5.      Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
6.      Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
7.      Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
8.      Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas

D.    Hukum Menyewakan Barang Sewaan
            Menurut Sayyid sabiq, penyewa dibolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang itu sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal. Sementara itu, menurut Hendi Suhendi bila ada kerusakan pada benda yang disewa, maka yang bertanggung jawab adalah pemilik barang (al-mu’jir) dengan syarat kerusakan itu bukan akibat dari kelalaian penyewa atau al-musta’jir maka yang bertanggung jawab adalah penyewa atau al-musta’jir itu sendiri.[6]


E.     Pembatalan dan Berakhirnya Ijarah
            Menurut al-kasani dalam kitab al-Bada’iu ash-shanaa’iu, menyatakan bahwa akad  ijarah berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Objek ijarah hilang atau musnah.
2.      Tenggang waktu yang disepakati dala akad ijarah telah berakhir.
3.      Wafatnya salah seorang yang berakad.
4.      Apabila ada udzur (halangan) dari salah satu pihak.
            Sementara itu, menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
1.      Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa.
2.      Rusaknya barang yang disewakan.
3.      Rusaknya barang yang diupahkan.
4.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan.
5.      Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkan ijarah  jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa.

F.      Pengembalian Barang Sewaan
            Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan. Jika barang itu berbentuk barang yang dapat dipindah (barang bergerak) seperti kendaraan, binatang dan sejenisnya, ia wajib menyerahkannya langsung pada pemiliknya. Dan jika berbentuk barang yang tidak dapat berpindah (barang yang tidak dapat bergerak) seperti rumah, tanah, bangunan, ia berkewajiban menyerahkan kepada pemiliknya dalam keadaan kosong, seperti keadaan semula. Madzhab Hambali berpendapat bahwa ketika ijarah telah berakhir penyewa harus melepaskan barang sewaan dan tidak ada kemestian mengembalikan untuk menyerahterimakannya, seperti barang titipan. Selanjutnya mereka juga berpendapat bahwa setelah berakhirnya masa akad ijarah dan tidak terjadi kerusakan yang tanpa disengaja, maka tidak ada kewajiban menanggung bagi penyewa.


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
1.      Menurut etimologi, ijarah adalah بيع المنفعة (menjual manfa’at). Al-ijarah berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah. Sedangkan menurut istilah, ijarah adalah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan dalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa dan upah-mengupah.
2.      Dasar-dasar hukum atau rujukan iajarah adalah al-qur’an, al-sunnah dan al-ijma’.
3.      Menurut Hanafiyah rukun ijarah hanya satu yaitu ijab dan qabul dari dua belah pihak yang bertransaksi. Adapun menurut jumhur ulama ijarah ada empat yaitu:
a.     Dua orang yang berakad
b.     Sighat (ijab dan qabul)
c.     Sewa atau imbalan
d.    Manfaat
Adapun syarat-syarat ijarah sebagimana yang ditulis Nasrun Haroen sebagai berikut:
a.         Yang terkait dengan dua orang yang berakad. Menurut ulama Syafi’iyah dan Hanabalah disyaratkan ytelah balig dan berakal.
b.        Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya melakukan akad al-ijarah
c.         Manfaat yang menjadi objek ijarah harus dikatahui, sehingga tidak muncul perselisihan dikemudian hari
d.        Objek ijarah itu boleh diserahkan dan digunakan secara langsung dan tidak ada cacatnya
e.         Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’
f.         Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa
g.        Objek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan
h.        Upah atau sewa dalam ijarah harus jelas.
4.      Para ulama fiqih berbeda pendapat tentang sifat akad ijarah, apakah bersifat mengikat kedua belah pihak atau tidak. Menurut Sayyid sabiq, ijarah akan menjadi batal dan berakhir bila ada hal-hal sebagai berikut:
a.       Terjadinya cacat pada barang sewaan ketika ditangan penyewa
b.      Rusaknya barang yang disewakan
c.       Rusaknya barang yang diupahkan
d.      Telah terpenuhinya manfaat yang diakadkan sesuai dengan masa yang telah ditentukan dan selesainya pekerjaan
            Menurut Hanafi salah satu pihak dari yang berakad boleh membatalkanijarah jika ada kejadian-kejadian yang luar biasa.
5.      Menurut Sayyid Sabiq jika akad ijarah telah berakhir, penyewa berkewajiban mengembalikan barang sewaan.

B.     Saran
            Hendaknya pembaca dapat lebih memahami dan dapat menerapkan dalam kehidupan sehari-hari tentang ijarah.


Daftar Pustaka

Ahmad Wardi Muslich, Fiqh Muamalat (Jakarta: Amzah, 2010)
Rachmat Syafei, FIQIH Muamalah, (Bandung: CV PUSTAKA SETI, 2001)
Qomarul Huda, Fiqh muamalah, (Yogyakarta: Teras, 2011)
Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994
Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA, 2002)
Abdul Rahman Ghazaly, dkk.,  FIQH MUAMALAT,  (Jakarta: KENCANA, 2012)


[1] Ahmad Wardi Muslich. Fiqh Muamalat (Jakarta:Amzah.2010) hlm.315
[2] Rachmat Syafei, FIQIH Muamalah, (Bandung:CV PUSTAKA SETI, 2001), hlm. 122
[3] Qomarul Huda, Fiqh muamalah, (Yogyakarta: teras, 2011), hlm. 77
[4] Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam (Hukum Fiqh Lengkap), (Bandung: Sinar Baru Algensido, 1994), hlm. 304
[5] Hendi Suhendi, FIQH MUAMALAH, (Jakarta:PT RAJA GRAFINDO PERSADA.2002), hlm.116-117
[6] Abdul Rahman Ghazaly, dkk., FIQH MUAMALAT, (Jakarta:KENCANA, 2012), hlm. 278-282

MAKALAH DINASTI MAMLUK / MAMALIK


BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang
            Sepeninggalan nabi Muhammad SAW membawa pengaruh dalam kehidupan yang disusul dengan masa Khulafaur Rasyidin. Setelah itu munculnya dinasti-dinasti yang membawa pengaruh besar dalam dunia Islam, salah-satunya adalah  yang dikenal dengan nama Dinasti Mamluk.    Kepentingan pembahasan mengenai abad pertengahan ini (abad ke 7 hingga ke 11H / abad ke 13 hingga ke 17 M ) adalah karena era ini merupakan masa pembentukan salah satu sistem politik dalam Islam. Kemunculan dan kebangkitan Dinasti Mamalik merupakan satu fenomena yang sangat sulit dipahami sebagaimana ditunjukkan oleh namanya,  merupakan dinasti para budak.
            Dinasti Mamluk Mesir memberikan sumbangan besar bagi peradaban Islam setelah mengalahkan kelompok Nasrani Eropa yang menyerang Syam (Suriah). Selain itu, Dinasti Mamluk Mesir berhasil mengalahkan bangsa Mongol, merebut dan mengislamkan kerjaan Nubia (Ethiopia), serta menguasai pula Cyprus dan Rhodos. Dinasti Mamluk Mesir berakhir setelah Al-Asyras Tuman Bai, sultan terakhir, dihukum gantung oleh pasukan Ustmani Turki[1]



B.     Pokok Masalah
1.      Bagaimana sejarah lahirnya kekuasaan Dinasti Mamalik ?
2.      Bagaimana penerapan siyasah pada masa Dinasti Mamalik ?
3.      Bagaimana kemunduran dan runtuhnya Dinasti Mamalik ?

BAB II

A.     Sejarah Lahirnya Kekuasaan Dinasti Mamalik
            Kaum Mamluk adalah para imigran Mesir yang pada awalnya merupakan budak-budak yang datang dan daerah pegunungan Kaukasus dan laut Kaspia. Mereka ditempatkan di barak-barak militer pulau Raudoh di sungai Nil untuk dilatih dan dididik secara baik. Ditempat inilah mereka diajari membaca, menulis dan pengetahuan kemiliteran, bahkan diberi pendidikan agama.[2]
            Philip. K. Hitti menyebutkan bahwa Dinasti Mamluk adalah dinasti yang luar biasa karena dinasti yang dihimpun dari budak-budak yang berasal dari berbagai ras yang dapat membentuk suatu pemerintahan oligarki di suatu Negara yang bukan tumpah darah mereka.[3] Sedang kata mamluk, bila digabungkan dengan kata dinasti (dinasti mamluk) berarti pemerintahan para budak yang memerintah Mesir dan Syiriah selama 267 tahun, mulai 1250-1517 M.[4]
            Pondasi kekuasaan Mamluk di letakkan oleh Syajar al-Durr, janda Al-Malik Al-Shaleh  dari Dinasti Ayubiyah yang tadinya merupakan seorang budak dari Turki dan Armenia. Pada awalnya, dia adalah seorang pengurus rumah tangga, dan salah satu harem Al-Mu’tashim. Kemudian ia mengabdi kepada al-Shaleh, khalifah yang membebaskannya setelah ia melahirkan anak laki-laki.
            Ketika Al-Malik Al-Shaleh meninggal, anaknya Turansyah naik tahta sebagai Sultan. Golongan mamalik merasa terancam karena turansyah lebih dekat dengan tentara kurdi dari pada mereka. Pada tahun 1250 M, Mamalik dibawah pimpinan Aybak dan Baybars berhasil membunuh Turansyah. Istri Malik Al-Shaleh, Syajar Al-Durr, seorang yang juga berasal dari kalangan mamalik berusaha mengambil kendali pemerintahan, sesuai dengan kesepakatan golongan mamalik. Kepemimpinan Syajar Al-Durr berlangsung sekitar tiga bulan. Ia kemudian kawin dengan seorang tokoh mamalik bernama Aybak dan menyerahkan tampuk kepemimpinan kepadanya sambil berharap dapat berkuasa di belakang tabir. Akan tetapi segera setelah itu Aybak membunuh Syajar Al-Durr dan mengambil sepenuhnya kendali pemerintahan. Pada mulanya, Aybak mengangkat seorang keturunan penguasa Ayubi’yah bernama Musa sebagai Sultan “Syar’I” (formal) di samping dirinya bertindak sebagai penguasa yang sebenarnya. Namun, akhirnya dibunuh oleh Aybak. Ini merupakan akhir dari dinasti Ayubi’yah di Mesir dan awal dari kekuasaan dinasti Mamalik.[5]
            Dinasti mamluk dibagi menjadi dua periode berdasarkan daerah asalnya. Golongan pertama di sebut dengan Mamluk Bahri, golongan pertama ini berasal dari kawasan Kipchak (Rusia Selatan), Mongol dan Kurdi, tetapi kebanyakan dari budak/budak ini berasal dari Mongol dan turki. Mereka di tempatkan dipulau Raudhoh di pinggiran sungai Nil. Disinilah mereka menjalani pelatihan militer dan pelajaran keagamaan. Karena penempatan inilah mereka dikenal dengan julukan Mamluk Bahri (budak laut/air).
            Sementara itu, golongan yang kedua dinamakan Mamluk Burji. Para budak ini berasal dari etnik Syracuse di wilayah Kaukakus. Golongan kedua inilah yang berhasil bertahan untuk berkuasa pada Dinasti Mamluk.[6] Kelompok ini dibentuk oleh Qallawun, raja mamluk bahri (1279-1290).

B.     Penerapan Siyasah pada Masa Dinasti Mamalik
1.      Siyasah Dusturiyah
            Dinasti Mamalik membawa warna baru dalam sejarah peradaban dan politik Islam. Pemerintahan dinasti ini bersifat oligarki militer, suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling kuat dan berpengaruh, bukan melalui garis keturunan.
            Bai’at adalah sumpah setia yang mempertalikan pemimpin dengan masyarakatnya. Bai’at identic dengan sebuah “perjanjian”, dan sebagaimana layaknya semua ragam perjanjian. Bai’at melibatkan dua kelompok; disatu sisi, pihak pemimpin dan masyarakat; di sisi lain, tidak hanya ulama yang berperan penting dalam proses konsultasi sebelum bai’ah terwujud, tetapi semua pihak yang berpengetahuan, berbakat, berpengaruh dan mempunyai kekuasaan juga turut terlibat dalam proses itu. Model suksesi seperti ini telah dipraktekkan oleh keempat khalifah, meskipun memperlihatkan variasi yang berbeda-beda.[7] Namun hal tersebut berubah sejak pemerintahan Qalawun (1280-1290 M). Ia merubah sistem pemerintahan atau cara pemilihan kepemimpinan dari oligarki militer menjadi sistem kerajaan atau turun-temurun.
2.      Siyasah Dauliyah
            Hubungan internasional pada masa dinasti ini dapat dilihat dari beberapa hal, seperti.
a.       Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti Fathimiyah di Mesir sebelumnya.
b.      Menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa, Kairo menjadi kota yang penting dan strategis karena jalur perdagangan dan Asia Tengali dan Teluk Persia hampir dipastikan me1ui Bagdad.[8]
3.      Siyasah Maliyah
            Pendapatan Negara Dinasti Mamalik.
a.       Pertanian, Dinasti Mamalik membangun sarana irigasi yang bagus sehingga hasil pertanian sangat bagus.
b.      Perdagangan, Dinasti Mamalik membuka hubungan dagang dengan Perancis dan Italia melalui perluasan jalur perdagangan yang sudah dirintis oleh Dinasti Fatimiyyah di Mesir sebelumnya.
c.       Ghanimah, segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin dari harta orang kafir dengan mlalui peperangan. Hal ini diperoleh setelah pasukan mamluk berhasil mengalahkan pasukan kafir dalam berbagai peperanga, seperti kemenangan melawan tentara Mongol di Ayn Jalut.
d.      Fa’i, segala sesuatu yang dikuasai kaum Muslimin dari harta orang kafir dengan tanpa peperangan. Hal ini diperoleh Dinasti Mamalik setelah beberapa wilayah kekuasaan tentara non muslim meninggalkan daerahnya tanpa peperangan. Dalam sejarah, setelah pasukan Mamalik berhasil mengalahkan pasukan Mongol di Ayn Jalut, tentara Mongol yang berada di daerah Syria meninggalkan wilayah itu untuk menghindari tentara Mamluk. Tentu betbagai harta yang ditinggal menjadi milik kaum Muslimin.
e.       Jizyah, hak yang diberikan kaum Muslimin dari orang-orang non muslim sebagai tanda kedudukan mereka kepada Islam yang diambil dari mereka sebesar 1 dinar pertahun.
f.       Usyur, hak kaum muslimin yang di ambil dari harta perdagangan pedagang eropa yang melewati perbatasan negara.

C.     Kemunduran dan Runtuhnya Dinasti Mamalik
            Kemunduran dinasti ini secara garis besar disebabkan oleh dua faktor yaitu, faktor internal, dan faktor eksternal.
1.      Faktor Internal
            Maraknya praktik korupsi. Korupsi dan monopoli ekonomi dilakukan oleh para sultan yang mengelola pembangunan. Misalnya, yang dilakukan oleh sultan Barsibai, sebelum harga naik, ia memonopoli persedian rempah yang ada, kemudian menjualnya dengan harga yang sangat tinggi. Ia juga memonopoli produksi gula, dan melangkah lebih jauh dengan melarang tanaman tebu selama satu periode dengan tujuan mendapatkan keuntungan yang sangat besar.
            Sebagaimana temuan Ibn-Al-Taghri Birdi yang dikutip Philip K Hitty, menjelaskan bahwa: “faktor kehancuran Mamluk Burji tampak terlihat dari para sultan dan pegawainya yang berperilaku buruk, seperti tipu daya, pembunuhan, dan pembantaian. Sebagian sultan melakukan tindakan kejam, curang, dan sebagian lain tidak efisien atau bahkan bermoral bejat dan kebanyakan dari mereka tidak beradab.”
2.      Faktor Eksternal
            Para penguasa Mamluk Burji sangat tidak peduli dengan urusan luar negerinya, mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk mengurusi persoalan domistik. Akibatnya, mereka tidak mampu menghadapi tekanan dan serangan dari musuh-musuh lama mereka, seperti tentara Mongol yang berkeinginan merebut kembali kekuasaan Dinasti Mamluk.[9]
           


            Dalam tulisan Ahmad Al-Usairy dipaparkan detik-detik berakhirnya Mamluk Burji sebagai berikut :

“Pasukan Ustmani di bawah pimpinan Sultan Salim, mengalahkan pemerintahan Al-Saffariah pada perang Jaladiran yang sangat terkenal pada tahun 920 H/1514 M. mereka berhasil memasuki ibu kotanya Tibriz. Dengan demikian, Irak kini berhasil masuk dibawah kekuasaan Ustmani. Setelah itu, mereka berhasil pula mengalahkan pemerintahan Mamluk di negeri Syam pada perang Marj Dabiq di Halb. Sultan Qanshuh Al-Ghawri dibunuh dalam perang ini pada tahun 922 H, kemudian Sultan Salim melanjutkan serangannya ke Mesir dan berhasil menang atas orang-orang Mamluk pada perang Raydaniyah di Kairo. Pada perang ini, Sultan Thumanbai terbunuh, dengan terbunuhnya sultan terakhir Burji, maka berakhir pulalah pemerintahan Mamluk. Khalifah Abbasiyah terakhir, Al-Mutawakkil ‘Ala Allah, turun tahta dan menyerahkan kekuasaannya kepada sultan Salim, terjadi pada tahun 923 H/1517 M.Kairo yang sebelumnya menjadi ibu kota kerajaan, kemudian menjadi kota provinsi dari kesultanan Turki Ustmani.”[10]




BAB III
PENUTUP

A.     Kesimpulan
1.      Latar belakang Dinasti Mamalik adalah berasal dari para budak yang ditawan oleh penguasa Ayyubiyah yang dipimpin oleh Al-Malik Al-Salih, kemudian mereka dididik dan dilatih menjadi pasukan meliter yang tangguh oleh Al-Malik Al-Salih serta dijadikan pengawal untuk kelangsungan kekuasaannya.
2.      Siyasah Dusturiyah pada masa Dinasti Mamalik bersifat oligarki militer, suatu bentuk pemerintahan yang menerapkan susunan kepemimpinan yang dipilih di antara para Mamluk yang paling kuat dan berpengaruh, bukan melalui garis keturunan. Karena itu, sistem ini lebih mementingkan kecakapan, kecerdasan, dan keahlian dalam peperangan.
            Siyasah Dauliyah pada masa Dinasti Mamalik antara lain membuka hubungan dagang Perancis dan Italia dan menjadikan kota Kairo sebagai jalur perdagangan antara Asia dan Eropa
            Pendapatan pada masa Dinasti Mamalik ini berasal dari pertanian, perdagangan, ghanimah, fa’i, jizyah, dan usyur. Pengeluaran Dinasti Mamalik antara lain untuk pembangunan infratruktur, penggajian pejabat negara, pertahanan negara, dan pelayanan masyarakat.
3.      Kemunduran dan runtuhnya dinasti Mamluk utamanya disebakan ketika sultan Mamluk Burjiy berkuasa yang ditandai dengan adanya kegoncangan dalam maupun luar negeri.

B.     Saran
            Adapun saran kami dengan pembuatan makalah ini yaitu agar orang yang membacanya dapat mengerti dengan materi yang ada tentang Al-Siyasah Syariyyah Pada Masa Dinasti Mamalik, sehingga dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya.




Daftar Pustaka
Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam, (Jakarta: Saufa, 2014)
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Graha Gratindo Persada, 2004)
Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Serambi, 2005)
Ahmad Shalabi, Mauwsu’ah al-Tārīkh al-Islam wa al-Haḏārah al-Islāmiyah, Vol. 5, (Kairo: Maktabah al-Nadah al-Misriyyah, 1978)
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2014)
Rahim Yunus dan Abu Haif, Sejarah Islam Pertengahan, (Yogyakarta: Ombak, 2013)
Philip K. Hitti, The Arab Short a History. Diterjemahkan oleh Ushuluddin Kutagalung dan O.D.P. Sihombing dengan judul “Dunia Arab Sejarah Singkat”, (Bandung: Surnut, 1970)
Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008)


[1] Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam, (Jakarta: Saufa, 2014), h. 277.
[2] Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam, (Jakarta: Graha Gratindo Persada, 2004), h. 124.
[3] Philip Khuri Hitti, History of the Arabs: Rujukan Induk dan Paling Otoritatif Tentang Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: Penerbit Serambi, 2005), h. 671.
[4] Ahmad Shalabi, Mauwsu’ah al-Tārīkh al-Islam wa al-Haḏārah al-Islāmiyah, Vol. 5, (Kairo: Maktabah al-Nadah al-Misriyyah, 1978), h.197.
[5] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT. Raja Gravindo Persada, 2014), h. 124.
[6] Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam, (Jakarta: Saufa, 2014), h. 278.
[7] Rahim Yunus dan Abu Haif, Sejarah Islam Pertengahan, (Yogyakarta: Ombak, 2013), h. 20.
[8] Philip K. Hitti, The Arab Short a History. Diterjemahkan oleh Ushuluddin Kutagalung dan O.D.P. Sihombing dengan judul “Dunia Arab Sejarah Singkat”, (Bandung: Surnut, 1970), h. 679.
[9] Abdul Syukur Al-Azizi, Peradaban Islam, (Jakarta: Saufa, 2014), h. 287.
[10] Dedi Supriyadi, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 247.